22 Desember 2016

opini musri nauli : REZIM IZIN LINGKUNGAN


Dunia hukum mengalami “geger”. Putusan Mahkamah Agung yang mengabulkan permohonan dari Joko Priyanto dkk dan Walhi menuai problema hukum. Putusan Mahkamah Agung ditingkat Peninjauan Kembali Nomor 99 PK/TUN/2016 (Putusan Mahkamah Agung) kemudian “dipelintir” oleh pihak yang kalah (baca Gubernur Jawa Tengah) dengan menerbitkan Izin lingkungan baru kepada PT. Semen Indonesia.
Secara sekilas Putusan Mahkamah Agung menyatakan Pertama, mengadili dan mengabulkan seluruh gugatan para penggugat. Kedua, menyatakan batal izin lingkungan PT Semen Indonesia. Ketiga, mewajibkan kepada Gubernur Jawa Tengah untuk mencabut izin lingkungan PT. Semen Indonesia di Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah.

Dalam bahasa umum, Gubernur Jawa Tengah kemudian harus melakukan “mencabut izin lingkungan kepada PT. Semen Indonesia di Rembang.

Secara harfiah, izin didalam kamus Bahasa Indonesia adalah “pernyataan mengabulkan (tidak melarang dan sebagainya), persetujuan membolehkan.

Dalam rezim “izin”, makna izin haruslah diletakkan pada konteks simantik. Izin (vergunningen) dimaknai sebagai “dispensasi”, “lisensi”, “konsesi”. Menggunakan kata “vergunningen” adalah “dispensasi dari suatu larangan”.

Dalam literature disebutkan sebagai “perbuatan hukum administrasi Negara bersegi satu”. Bahkan Bagir Manan menyebutkan “suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk membolehkan melakukan suatu tindakan atau perbuatan tertentu yang selama ini dilarang.

Sehingga simantik “vergunningen” dari pendekatan Bagir Manan maka perbuatan “sebelumnya” tidak boleh (dilarang) menjadi “pembolehan”.

Dalam konteks UU No. 32 Tahun 2009[1], Izin lingkungan kemudian diberikan makna untuk “mencegah bahaya bagi lingkungan”.  Dalam pasal 1 angka (35) UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU Lingkungan Hidup) kemudian dipertegas didalam pasal 1 angka (1) PP No. 27 Tahun 2012 Tentang Izin Lingkungan disebutkan “izin lingkungan adalah izin yang diberikan kepada setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang wajib amdal atau UKL-UPL dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai prasyarat untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan. Sehingga setiap usaha/kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki amdal (Pasal 22, Pasal 36 ayat (1) UU Lingkungan Hidup dan pasal 2 ayat (1), pasal 3 ayat (1)  PP No. 27 Tahun 2012).

Dengan dokumen amdal maka kemudian ditetapkan keputusan kelayakan lingkungan hidup (Pasal 24 UU Lingkungan Hidup). Izin lingkungan merupakan persyaratan untuk memperoleh izin usaha/kegiatan (pasal 40 UU Lingkungan Hidup).

Izin lingkungan dapat dibatalkan oleh Menteri/Gubenur/Bupati/Walikota (pasal 37 ayat 2 UU Lingkungan Hidup). Bahkan PTUN dapat membatalkan izin lingkungan hidup (Pasal 38 UU Lingkungan Hidup). Sehingga dengan dibatalkan izin lingkungan, maka izin usaha/kegiatan dibatalkan (Pasal 40 ayat (2) UU Lingkungan Hidup).

Izin lingkungan juga digunakan selain “mencegah bahaya bagi lingkungan” maka harus sesuai dengan Ketentuan Lingkungan Hidup Strategis (KLHS sebagaimana diatur didalam pasal 15 UU LIngkungan Hidup) selain juga memperhatikan “daya dukung dan daya tampung (Pasal 8 UU Lingkungan Hidup).

Dengan memperhatikan “rambu-rambu” yang sudah disusun oleh UU Lingkungan Hidup dan PP No. 27 Tahun 2012 maupun putusan Mahkamah Agung, maka pihak tergugat dalam hal ini adalah Gubernur Jawa Tengah “diperintahkan” untuk membatalkan SK Gubernur Jawa Tengah Nomor 660.1/17 Tahun 2012 Tentang Izin Lingkungan kegiatan Penambangan PT. Semen Gresik Tbk di Kabupaten Rembang (SK Gubernur)

Perintah Pengadilan untuk “membatalkan” SK Gubernur Jawa Tengah tidak dapat kemudian “diartikan” sebagai Gubernur Jawa Tengah membatalkan SK Gubernur,  namun” kemudian “menerbitkan” SK Nomor 660.1/30 Tahun 2016 tertanggal 9 Desember 2016 (SK Gubernur Jawa Tengah yang baru).

Alasan sepele seperti berubahnya nama “PT. Semen Gresik (Persero) Tbk” menjadi “PT. Semen Indonesia.  Atau berkurangnya luas tambang berdasarkan SK Gubernur Jawa Tengah Nomor 660.1/17 tahun 2012 seluas 520 hektar, berkurang menjadi 293 hektar atau pernyataan menerbitkan SK Gubernur yang baru bukan “izin baru” melainkan perubahan dari izin lamasehingga menerbitkan SK Gubernur yang baru sama sekali mengabaikan “rambu-rambu” UU Lingkungan Hidup dan PP No. 27 Tahun 2012.

Menilik dari putusan Mahkamah Agung yang menyatakan batal izin lingkungan PT Semen Indonesia, sehingga menurut hukum, izin lingkungan yang dikeluarkan Gubernur Jawa Tengah menjadi tidak sah.

Sehingga pemikiran Gubernur Jawa Tengah membatalkan SK Gubernur,  namun” kemudian “menerbitkan” SK Nomor 660.1/30 Tahun 2016 tertanggal 9 Desember 2016 (SK Gubernur Jawa Tengah yang baru) adalah “sesat” dan bertentangan dengan putusan Mahkamah Agung sendiri.

Sehingga dengan mencabut izin lingkungan PT. Semen Indonesia di Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah, maka Gubernur Jawa Tengah tidak dibenarkan lagi menerbitkan izin lingkungan terhadap PT. Semen Indonesia.

Apalagi dengan alasan sepele yang disampaikan seperti berubahnya nama “PT. Semen Gresik (Persero) Tbk” menjadi “PT. Semen Indonesia.  Atau berkurangnya luas tambang “rambu-rambu” UU Lingkungan Hidup dan PP No. 27 Tahun 2012.

Padahal “rambu-rambu” didalam UU Lingkungan Hidup telah memberikan garis tegas (guideline) terhadap “setiap orang yang melakukan usaha/kegiatan (Pasal 1 angka 35 UU Lingkungan dan Pasal 1 angka (1) PP No. 27 Tahun 2012) dengan “memperhatikan daya dukung dan daya tampung (Pasal 8 UU Lingkungan Hidup) dan KLHS (Pasal 15 UU Lingkungan Hidu).  Sehingga dengan dibatalkannya oleh Pengadilan (Pasal 38 UU Lingkungan Hidup) maka dapat mencegah bahaya lingkungan hidup.

Dengan demikian pemberian izin lingkungan tanpa prosedur yang sah seperti tanpa amdal (pasal 22, Pasal 36 ayat (1) UU Lingkungan Hidup dan pasal 2 ayat (1), pasal 3 ayat (1)  PP No. 27 Tahun 2012) maka dapat dikategorikan melakukan kejahatan (Pasal 111 UU Lingkungan Hidup).

Putusan Mahkamah Agung kemudian bertindak “mencegah kerusakan lingkungan hidup”. Izin lingkungan hidup yang telah dikeluarkan oleh Gubernur Jawa Tengah tidak dapat dikualifikasikan sebagai izin dalam ranah rezim perizinan.

Sehingga terhadap areal yang menjadi persoalan hukum tidak dibenarkan untuk “diperbolehkan” atau “dispensasi” untuk dikeruk menjadi tambang.

Dalam rezim “izin”, makna izin haruslah diletakkan pada konteks simantik. Izin (vergunningen) dimaknai sebagai “dispensasi”, “lisensi”, “konsesi”. Menggunakan kata “vergunningen” adalah “dispensasi dari suatu larangan”.

Menggunakan simantik (vergunningen), maka izin lingkungan yang sebelumnya diberikan kepada PT. Semen Indonesia menjadi tidak sah. Sehingga Putusan Mahkamah Agung ini juga berlaku terhadap izin lingkungan Gubernur yang baru (mutatis Mutandis)

Selain itu juga, Gubernur Jawa Tengah membatalkan SK Gubernur,  namun” kemudian “menerbitkan” SK Gubernur Jawa Tengah yang baru merupakan upaya “penyeludupan hukum (Wetsontduiking)”

Sebuah upaya “Penyeludupan hukum” (Wetsontduiking) yang justru menghindarkan hukum nasional diterapkan dalam persoalan Rembang.

Atau dengan kata lain “penyeludupan hukum (Wetsontduiking)” bertentangan dengan izin lingkungan sebagaimana diatur didalam “rambu-rambu” UU Lingkungan Hidup dan PP No. 27 Tahun 2012.




[1] UU No. 32 Tahun 2009 dimaknai sebagai UU Pokok/UU Payung (umbrella act, umbrella provision, raamwet, modewet). Lihat Lihat pasal 44 dan penjelasan umum angka (5) UU No. 32 Tahun 2009. Menilik pasal 44 dan penjelasan umum angka 5 UU Lingkungan Hidup kemudian mengamanatkan sebagai UU Payung didalam perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup. Sehingga seluruh UU yang berkaitan dengan sumber daya alam kemudian harus memperhatikan ketentuan didalam UU No. 32 Tahun 2009. Makna ini kemudian dipertegas dengan menggunakan istilah “Ketentuan Lingkungan Hidup strategis” didalam UU No. 32 Tahun 2009.